Jumat, 16 September 2011

Monster Ikan Gigi Tajam dari Laut Arktik

Ilustrasi Laccognathus embryi  

Memiliki kepala yang besar dengan mata kecil dan rahang kuat yang dilapisi gigi tajam.

Hasil telaah fosil yang dilakukan sejumlah ilmuwan membuktikan, monster laut benar-benar ada. Setidaknya di zaman prasejarah. Para peneliti mengungkap eksistensi ikan predator besar yang memiliki mulut menakutkan, dengan gigi-gigi tajam, pernah berkeliaran di perairan Amerika Utara.

Ikan bersirip lobus, yang diberi nama Laccognathus embryi, diperkirakan memiliki panjang 1,5 hingga 1,8 meter. Mahluk itu memiliki kepala yang besar dengan mata kecil dan rahang kuat yang dilapisi gigi tajam.

Hewan tersebut diperkirakan merupakan penghuni perairan dalam, mengintai mangsa dari dasar laut dan lalu menyerangnya. "Aku tak akan berani mengarungi, apalagi berenang di perairan di mana hewan itu bersembunyi," kata Edward Daeschler, peneliti sekaligus kurator vertebrata di Academy of Natural Sciences di Philadelphia, seperti diberitakan LiveScience.

Laccognathus embryi diperkirakan memangsa lungfish dan placoderma. Demikian diutarakan peneliti dari akademi yang sama, Jason Downs. "Ikan tersebut dengan rahang kuat dan gigi panjang yang tajam pastinya merupakan predator yang memakan vertebrata air lain yang hidup di perairan yang sama."

Tim menemukan, fosil berusia 375 juta tahun di Pulau Ellesmere di wilayah terpencil, teritori Nunavut, Arktik, Kanada.

Sebelumnya di lokasi yang sama, peneliti Tiktaalik roseae, binatang transisi yang dianggap 'benang merah' antara ikan dan hewan berkaki. Itu menunjukkan, kedua binatang tinggal di tempat yang sama.
"Keduanya adalah predator, ada kemungkinan mereka saling bersaing untuk mendapatkan mangsa," kata Downs. "Juga ada kemungkinan, mereka hidup di kedalaman yang berbeda, atau mengembangkan strategi mencari makan berbeda yang memungkinkan mereka menciptakan relung unik di lingkungan mereka."

Meskipun tim menemukan fosil Laccognathus embryi pertama sekitar 10 tahun lalu, spesies tersebut baru tercatat dalam edisi terbaru Journal of Vertebrate Paleontology, setelah kerja keras pengumpulan sampel tambahan dari lapangan dan proses analisis. "Penelitian ini adalah puncak dari banyak pekerjaan di lapangan, di laboratorium fosil, dan di kantor," kata Downs.
• VIVAnews

Selasa, 13 September 2011

Semut Tidak Pernah Tersesat Pulang ke Sarang

 

Perjalanan pulang lebih cepat dibandingkan dengan perjalanan saat mereka mencari makan 

perjalanan pulang jauh lebih cepat dibandingkan dengan perjalanan saat mereka mencari makan. Selain itu, semut hitam kadang mengeroyok semut merah dan mencuri makanan yang dimiliki

Rasa penasaran dengan perilaku semut membuat Anggie Arivia Tanu, siswi SD Kristen Penabur 6 Bandung, ingin mengetahui bagaimana semut selalu bisa pulang setelah jauh mencari makanan. Hal ini kemudian ia tanyakan pada gurunya.

Melihat antusiasme Anggie, sang guru mengajaknya untuk mengamati perilaku semut.

“Saya mendampingi Anggie untuk mengamati perilaku semut,” ujar Winardi, guru pembimbingnya. Dengan memberi remah-remah kue sebagai umpan, selama satu minggu mereka menghitung waktu setiap semut yang pergi mencari makan dan pulang.

Dari pengamatan awal tersebut, ada hal yang menarik untuk dicatat bahwa semut selalu pulang lebih cepat ke sarang daripada saat mereka mencari makan.  

Anggie kemudian mendapatkan ide untuk memberi penghalang bagi semut yang mencari makanan. “Selama ini perilaku semut saat berjalan saling antre berurutan. Saat diberi penghalang, semut memang kebingungan, dan berusaha mencari makanan yang ada di dekatnya,” ujar Anggie pada VIVAnews, 12 September 2011.

Hasil pencatatan waktu dengan stopwatch kemudian memperkuat fakta bahwa semut lebih cepat kembali ke sarangnya meski diberi penghalang.

Jika tidak diberi penghalang, Anggie mencatat, dalam 3 kali pengamatan, waktu yang dibutuhkan yaitu 20 detik menuju umpan, pulang 13 detik. Pengamatan kedua, 22 detik ke umpan, pulang 12 detik. Pengamatan ketiga, menuju umpan 27 detik, pulang 24 detik.

Jika diberi penghalang, tercatat pengamatan pertama, menuju umpan 49 detik, pulang 39 detik (tidak membawa makanan). Pengamatan kedua, 24 detik menuju umpan, pulang 15 detik. Dan terakhir, menuju umpan 1 menit, pulang 1 menit 59 detik.

“Ada kejadian menarik saat percobaan diberi penghalang. Semut hitam mencari jalan memutar dan mencari makanan yang dipunyai oleh semut merah,” kata Winardi, guru pendamping Anggie. Semut merah akhirnya dikeroyok, semut hitam mencuri makanan semut merah. “Di sini berlaku hukum alam, siapa yang kuat dia yang menang,” ujarnya.
Berkat penelitiannya ini, Anggie masuk dalam 9 besar bocah yang menjuarai Junior Science Award 2011 yang juri-jurinya berasal dari LIPI
• VIVAnews

Sabtu, 27 Agustus 2011

Ditemukan, Fosil Dinosaurus Terbang



 
 

Sempat diduga burung purba, Anchiornis huxleyi itu ternyata masuk keluarga dinosaurus

VIVAnews - Tim paleontologi dari China melaporkan penemuan sebuah fosil dinosaurus, yang diyakini telah berusia 150 juta tahun. Yang menarik, dinosaurus ini tampaknya memiliki empat sayap sehingga menimbulkan perspektif baru bagi kalangan ilmuwan mengenai evolusi hewan berbulu.

Laman harian USA Today mengungkapkan bahwa temuan itu dipublikasikan oleh jurnal Nature. Tim dari China itu dipimpin oleh Xing Xu dari Akademi Ilmu Pengetahuan di Beijing.

Mereka menamakan fosil itu Anchiornis huxleyi. Dinosaurus berbulu itu "menunjukkan bahwa struktur-struktur ini pertama kali berevolusi di bagian bawah perut depan dan ekor."

Awalnya, tim itu menduga fosil Anchiornis yang mereka temukan adalah burung purba. Namun, setelah penelitian fosil lebih lanjut, mereka menemukan struktur tulang yang menunjukkan bahwa spesies itu merupakan tipe dinosaurus.

Fosil itu tampaknya muncul lebih dulu dari Archaeopteryx, yang merupakan burung pertama.
• VIVAnews

Kunjungi Juga Ya.......

Kamis, 18 Agustus 2011

Kelelawar Penghisap Darah Mulai Incar Manusia

Meski kelelawar jenis ini umumnya ditemukan di Meksiko, Brazil, Chile, dan Argentina, namun dari penelitian, kawasan penyebaran hewan ini terus meluas akibat perubahan iklim.
 
Seorang remaja asal Meksiko menjadi orang pertama di Amerika Serikat yang tewas akibat kelelawar penghisap darah. Yang mengkhawatirkan, Centers for Disease Control (CDC) menyebutkan bahwa kelelawar itu kemungkinan akan menyebar ke seluruh negeri.

Pekerja migran berusia 19 tahun itu terkena rabies akibat digigit kelelawar di bagian tumitnya, 15 Juli 2010 lalu. Ia digigit di Michoacan, 10 hari sebelum berangkat ke Amerika Serikat untuk bekerja di pabrik gula, di Louisiana.

“Kasus ini merupakan kasus pertama di mana manusia tewas akibat gigitan dan  terkena virus rabies yang ditularkan oleh kelelawar penghisap darah di Amerika Serikat,” sebut laporan CDC, seperti dikutip dari Fox News, 15 Agustus 2011.

Dilaporkan, remaja itu jatuh sakit dua minggu setelah digigit karena tidak diberi vaksinasi rabies. Ia sendiri pergi berobat dengan keluhan sakit di bahu, kelelahan, gangguan di mata kiri, dan mati rasa di lengan kiri. Selain itu, ia juga mengalami masalah pernafasan dan panas tinggi.

Pada 20 Agustus, ia secara resmi didiagnosa menderita rabies. Dari penelitian terhadap jaringan otak setelah kematiannya, dikonfirmasikan bahwa penyebabnya adalah varian virus rabies yang disebarkan oleh kelelawar penghisap darah.

Meski kelelawar jenis ini umumnya ditemukan di Meksiko, Brazil, Chile, dan Argentina, namun dari penelitian, kawasan penyebaran hewan ini terus meluas akibat perubahan iklim.

“Meluasnya penyebaran kelelawar penghisap darah ke kawasan Amerika Serikat kemungkinan akan memicu meningkatnya serangan hewan ini terhadap manusia dan hewan, termasuk hewan peliharaan, ternak, dan hewan liar,” sebut CDC.

Selain itu, CDC menyebutkan, kelelawar ini juga akan mengubah dinamika dan ekologi virus rabies di kawasan selatan Amerika Serikat
• VIVAnews